Selasa, 23 April 2013

KREATIVITAS DALAM BISNIS


KREATIVITAS
Didalam bisnis, menggunakan kreatifitas adalah cara yang paling efektif untuk mencapai keunggulan kompetitif. Berkompetisi hanya pada harga, bukan merupakan strategi yang berhasil, dibandingkan dengan berkompetisi dengan menciptakan produk dan jasa yang orijinal dan inventif. Di sektor publik, kreativitas dapat menjadi akar untuk menciptakan layanan yang lebih inovatif dan eisien untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Kreativitas bukan merupakan hadiah yang datang begitu saja untuk seorang jenius atau desainer. Kreativitas adalah sesuatu yang setiap orang bisa lakukan. Kreativitas adalah tentang menghasilkan gagasan baru dan menemukan solusi untuk mengatasi masalah dengan melakukan pemikiran yang berbeda.
Kreativitas penting bagi desainer, apalagi setelah mereka menemukan informasi yang ‘kering’ tentang konsumen, menjadi produk dan jasa yang aktual (terkini). Pekerjaan desainer pada umumnya akan dibuat lebih mudah dan bekerja lebih efektif, ketika mereka mengandalkan orang-orang yang mengadopsi pemikiran yang hampir sama, dibandingkan dengan jika memperlakukan desainer terisolasi dan bekerja sendiri.

GAGASAN
Gagasan yang digunakan untuk memperkaya proses desain, dapat datang dari mana saja, tidak hanya dari desainer. Gagasan bisa datang dari manajemen, orang-orang yang bergerak dibidang pemasaran atau keuangan. Manajemen harus memahami bahwa mendorong kreativitas harus dilakukan, karena hanya dengan menyediakan sugesti untuk staf, tidak menghasilkan hasil inovasi baru.
Banyak budaya organisasi mengurangi kreativitas karena alasan alamiah. Hirarki yang tegas yang datangnya dari atas, sering dipersepsi bahwa manajemen sebenarnya tidak mau mendengarkan. Manajer sering berhasrat untuk menyatakan otoritas, dan cenderung memotong gagasan, kurang mempunyai waktu untuk menelaah lebih lanjut, sehingga gagasan tidak sepenuhnya dapat dieksplorasi.
EMPATI BUKAN ANTIPATI
Salah satu cara adalah dengan menciptakan area tersendiri, atau area dimana gagasan didorong bukan dikritisi. Hal ini sulit bagi sebagian besar orang, karena terlanjur terbiasa dengan jastifikasi, terutama dalam lingkungan pekerjaan dimana terjadi pengendalian yang sangat kuat oleh manajemen.
Jastifikasi dapat mengakibatkan hal buruk terjadi pada suatu gagasan yang sebenarnya bisa kreatif. Dengan mendiskusikan mengapa gagasan tidak dapat dijalankan, atau bagaimana gagasan datang pertama kali, tim  bisa memperoleh gagasan yang lebih baik. Atau, tim mungkin bisa menemukan apa yang terlihat, sebenarnya merupakan gagasan yang tidak baik. Faktanya, dengan empati, tim akan bisa menemukan solusi yang orijinal dan dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, siapa yang akan berpikir bahwa orang dapat memprediksikan keberhasilan komputer personal (PC)?.
Kedua pendekatan tersebut (gagasan dan empati) mendorong tim, dan membuat pekerja idnividual merasa diapresiasi dan bernilai. Didalam atmosfer semacam ini, gagasan akan ditawarkan, dan karena anggota tim tidak takut gagasannya dipangkas, maka gagasan yang lebih orijinal akan muncul dengan sendirinya.

PERSPEKTIF BARU
Hambatan lain untuk menjadi kreatif adalah tidak dapat mendobrak cara berpikir gaya lama. Otak kita sering tidak membantu kita dalam hal ini. Jika kita telah mencoba untuk berpikir desain baru untuk sebuah meja misalnya, kita cenderung untuk berpikir bahwa meja itu empat persegi panjang yang didukung oleh empat kaki.
Ada beberapa teknik yang dapat membantu mendobrak siklus ini. Salah satunya adalah re-form the idea. Pikirkanlah bahwa, misalnya, bagaimana masalah dapat dipandang dari perspektif seseorang, seperti seseorang dari budaya yang sangat berbeda dari kita. Pertanyaan apa yang akan dilontarkan orang tersebut? Apakah mereka akan membuat sebuah meja? Apakah mereka akan berpikir untuk apa meja tersebut? Atau untuk merepresentasikan masalah nisalnya dengan model, diagram atau ilustrasi. Seorang desainer multidisiplin Thomas Heatherwick menciptakan meja yang disebut dengan The Plank dengan bereksperimentasi dengan menggunakan selembar kertas. Kertas dilipat, kemudian dibuka kembali. Pengalaman ini memberikan gagasan untuk membuat meja yang dilipat keatas menjadi meja tanpa kaki dengan bentuk seperti plank.
Teknik yang lain adalah memikirkan obyek yang saling berhubungan. Dalam kasus ini adalah meja. Tim dapat berpikir tentang kursi, bangku, permukaan untuk bekerja (work surfaces), lantai dan nampan, segala sesuatu yang dapat berfungsi seperti meja. Dengan sengaja bertanya secara provokatif, adalah cara lain untuk memperoleh aliran kreativitas. Apakah permukaan meja rata? Apakah sebuah meja harus memiliki permukaan rata? Apakah harus memiliki empat kaki?.

MENERJEMAHKAN GAGASAN
Sekali gagasan dihasilkan, sangat mudah baginya untuk terpeleset. Energi dan antusiasme pada pertemuan brainstorming yang pertama kali, dapat membangkitkan semangat untuk kreatif. Untuk menjadikan kretivitas menjadi inovasi, organisasi harus membuat seseorang atau tim bertanggungjawab untuk membuat gagasan menjadi kenyataan dan berhasil.
Orang kemudian akan dipercaya dan secara emosional terlibat dengan proyek, atau dengan kata lain, merasakan bahwa proyek itu adalah ‘bayi’nya, yang harus dirawat dan dibesarkan dengan sebaik-baiknya. Untuk seorang desainer, cara yang baik untuk membuat sebuah proyek menjadi nyata, adalah memproduksi prototype secepat mungkin. Ini tidak hanya akan mengklarifikasi apakah gagasan akan bagus atau tidak, tetapi juga akan membuat proyek menjadi lebih riil.
Meyakinkan tim selalu beekrjasama selama proyek, juga dapat menjaga kegairahan bekerja. Desainer tidak dapat ‘melakukan serah terima’ proyek begitu saja setelah desain jadi, tetapi harus menjaga semangat tim untuk dapat mewujudkan gagasannya tersebut.
Banyak bisnis memotong seluruh gagasan. Pekerjaan ini dilempar dari satu departemen ke departemen lain, supaya hanya tim kecil saja yang bertanggung jawab atas segala seuatu. Pekerja akan lebih merasa terlibat secara personal, jika mereka melihat proyek secara keseluruhan dari awal hingga akhir, dan menyatakan bahwa mereka bekerja untuk perusahaan atau otoritas lokal saja. 

Differences in Manufacturing Strategy Decisions Between Japanese and Western Manufacturing Plants: the Role of Strategic Time Orientation
Chris Voss and Kate Blackmon

Perbedaan budaya Jepang dan Barat mengakibatkan terjadinya perbedaan pada orientasi manufacturing strategy. Salah satu perbedaannya adalah perilaku psikologis terhadap waktu, yang bisa mengakibatkan penekanan yang berbeda pada konteks tujuan dan sasaran jangka panjang dan jangka pendek. Observasi terhadap 600 perusahaan dari 20 negara menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat adopsi dari praktek strategic manufacturing dan hubungan antara perusahaan dan manufacturing strategy.

Perbedaan tentang persepsi waktu antara Jepang dan Barat

Perbedaan siginifikan:
·       Sikap budaya terhadap waktu, dan perbedaan konsep waktu
·       Hubungan antara strategi perusahaan dan strategi manufakturing

Manajemen Jepang, menggunakan pendekatan jangka panjang, karena berhubungan dengan organisasi yang membutuhkan manajemen manufakturing efektif, untuk membangun market share. Manufakturing sebagai prioritas yang stratejik, strategi pengembangan, menjalin hubungan yang lebih dekat antara supplier dan assembler, Total Quality Control (TQC) dan Total Productive Management (TPM).

Manajemen Barat, menggunakan pendekatan jangka pendek, fokus pada tujuan dan sasaran jangka pendek. Manajer operasi menaruh perhatian pada isu-isu yang terjadi pada setiap bulan atau setiap kuartal, operasi harian, dan menepati jadwal.

Framework

Konstruksi sosio-budaya atas waktu. Dimensi dasar waktu bisa diterima sebagai sesuatu yang linear dan siklus. Waktu bisa diterima sebagai sekuens yang menerus (tidak ada awal dan akhir), siklus bisa statis, progresif atau degeneratif.

Aplikasi

·       The economicity of time, terkontrol dan dialokasikan
·       Monochronic (mengerjakan satu hal) dan polychronic (berbagai hal secara simultan).

Budaya Barat, menggunakan sistem monochronic. Pekerjaan diselesaikan secara berurutan, absolut, terjadwal. Dalam budaya ini, waktu dibagi menjadi tiga masa yaitu (1) past, (2) present dan (3) future. Juga bisa dibagi menjadi (1) linear, (2) continuous dan (3) economic. Budaya Barat menganggap waktu sebagai anak panah, dari past-ke future, linear dan perspective.

Budaya Jepang, menggunakan sistem polychronic. Jepang menganggap waktu tidak absolut (1) orientasi pada saat ini, tapi dihubungkan dengan masa lalu dan masa datang (Makimono/scroll), (2) melihat masa depan sebagai sesuatu yang ditarik ke masa kini. Dengan demikian, Jepang lebih signifikan dan lebih kuat dalam orientasi short term dan long term, dibandingkan budaya Barat. Level adaptasi lebih tinggi dibandingkan dengan budaya Barat
Sistem polychronic selanjutnya dikembangkan menjadi PERT chart atau Critical Path Method (CPM), untuk perencanaan proyek, penjadwalan, mereduksi polychronic menjadi monochronic.

Strategi Manufakturing

Waktu menjadi elemen penting dalam strategi manufakturing. Waktu adalah resources yang harus dihemat (economicity), khususnya dalam produksi, pengembangan dan pengenalan produk baru, penjualan, dan distribusi: (1) short term, (2) medium term dan (3) long term.

Prevention

·       Prevention cost (pendidikan, dokumentasi, revisi, dsb.) Jepang (31,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan level dunia (22,1%).
·       Preventive maintenance Jepang (66,2%), lebih tinggi dari level dunia (37,2%), reactifying maintenance (37,5%) lebih rendah dari level dunia (62.8%). Berarti, Jeoang lebih mementingkan kesiapan Total Production Management (TPM).